Sejak kekaisaran Romawi mengalami kemajuan pesat, keinginan belajar ilmu pengetahuan, khususnya orang-orang yang berbahasa Yunani maupun orang-orang Yunani yang berintelektual tinggi mulai pudar. Imperium yang terbentuk dari sebuah kekuatan militer Romawi telah menghasilkan teknik pembangunan yang besar, seperti jaringan jalan dan saluran air, serta kota-kota yang jalannya beraspal. Tetapi para penduduknya, termasuk yang terpelajar dari mereka memiliki ketertarikan yang rendah terhadap hal-hal yang abstrak dan teoritis. Akibatnya, hingga di permulaan abad terbentuknya Republik Romawi, hanya ada segelintir ilmuwan Yunani, ahli mistik dan para astrolog yang mengembangkan pengetahuan ketika ilmu pengetahuan mereka mengalami kemunduran demi menjaga lingkungan intelektual yang rasional. Dalam kurun waktu yang lama, pemikiran asal dari pengetahuan itu mulai memudar bahkan mulai hilang. Inilah kenyataan di dunia barat di bawah Imperium Romawi di masa lalu, yang menjadikan eksistensi orang-orang Yunani tersisihkan sehingga mereka sulit mengakses dan mengembangkan karya para ahli matematika klasik, ahli falak.
1.
Faktor-faktor yang Merintangi Perkembangan Sains di Dunia
Muslim.
Banyak kalangan ilmuwan, baik para
kritikus maupun apologetis, dengan berbagai argumentasi berusaha menjelaskan
mengapa revolusi sains tidak terjadi di dunia Muslim? Bukan maksud saya untuk
mengangkat kembali argumentasi mereka, tapi suatu penelitian diperlukan untuk
membuat kritik atas argumentasi para kritikus yang menuduh bahwa tabiat Islam
sebagai suata agama adalah yang bertanggung jawab atas kegagalan ini. Pervez
Amrali Hoodbhoy kiranya adalah orang yang paling memperolok-olok dengan
kritikannya yang cenderung kepada tuduhan yang tak terbantahkan. Dalam
usahanya mengumpulkan argumentasi atas kegagalan revolusi sains terjadi di
dunia Muslim.
Masyarakat yang berorientasi pada
doktrin Jatalisme, atau seseorang yang terlalu diintervensi oleh Tuhan dan
yang merupakan bagian dan matrik sebab akibat (kausalitas), terpaksa
menghasilkan individu-individu yang kurang berhasrat menyelidiki hal-hal yang
tidak diketahui dengan piranti sains.
Kemudian Amrali selalu menyindir bahwa
tabiat hukum Islam te!ah mengobarkan permusuhan selama berabadabad terhadap
elemen-elemen kapitalis yang dia anggap sebagai prasyarat perkembangan sains.
Penjelasan semacam ini, yang sama sekali tidak berdasar dan merupakan distorsi
fakta Sejarah dan pandangan keliru terhadap Muslim dan filsafat Islam.
a.
Al-Ghazali.
Di sisi lain, para apologetis menganggap
Al-Ghazzali sebagai orang yang berperan dalam menggagalkan revolusi sains dalam
dunia Muslim. Mereka berargumen bahwa karya al-Ghazzali tentang teologi
Ash’ari dan Tasawuf memberikan pukulan telak terhadap pertumbuhan tradisi
sains orang Muslim. Pendapat ini bertolak-belakang dengan fakta bahwa bagaimana
pun al-Ghazzali sendiri adalah ilmuwan sains yang mempunyai sejumlah karya
yang dengan tepat digambarkan oleh Hossein Nasr sebagai berikut “Risalah
termasyur al-Ghazzali pada abad 5H/IIM yang mengkritik filosuf rasionalistik
pada zamannya, menandai kemenangan akhir pemikiran intelek terhadap
rasio-logika yang independen - sebuah kemenangan yang tidak menghancurkan
filsafat rasionalistik sama sekali - menjadikannya berhubungan dengan
pengetahuan rohani/batin. Dengan hasil kekalahan dan penaklukan yang dilakukan
oleh al-Ghazali dan tokoh-tokoh penganut silogis dan sistematis filsafat
Aristoteles di abad 5 H/i I M, tradisi ilmu rohani Islam bisa bertahan hidup
hingga saat ini dan tidak tercekik seperti lainnya dalam atmosfir yang terlalu
rasionalistik.
Jikalau kritik dan apologi ditolak,
maka dimanakah keberadaan argumen .yang tepat untuk menjelaskan keadaan yang
menyedihkan atas fenomena sains dalam dunia Muslim khususnya setelah abad 1 3
M? Mengilas balik faktor eksternal dan internal mungkin dapat menunjukkan
jawaban pertanyaan ini.
Secara eksternal, dua invasi yang
berdampak permusuhan telah dilakukan terhadap dunia Muslim. Kedua invasi ini
adalah invasi bangsa Mongolia dan kaum Salib. l3angsa Mongolia dikenal sangat
biadab, penghasut perang yang primitif yang banyak menggarong kota dan
menghancurkan berbagai peradaban yang telah lama kokoh, mulai dan Cina sampai
Eropa Timur. Gerombolan yang biadab ini kemudian menyerang Timur Tengah dan
menguasainya selama setengah abad (1218-1268 M). Selama penode ml mereka
tidak hanya meneror masyarakat tapi juga terlibat aktif dalam menghancurkan
struktur-struktur penting yang merupakan hasil sains yang agung.
Budaya perusakan bangsa Mongolia sangat
besar dan mencakup perusakan kota dan sekolahan, pembantalan guru dan ilmuwan
serta melenyapkan para iimuwan. Para ahli menduga bahwa bangkitnya peradaban
Eropa Barat dan kondisi budaya dan teknologinya yang terbelakang, berganti menjadi
bangsa adi daya, antaranya disebabkan oleh perusakan yang menimpa dunia Muslim
yang dilakukan bangsa Mongolia. Kemudian dilanjutkan penj arahan pasukan Salib
Konstantinopel Byzantium pada tahun 1204 M”.
Ujian selanjutnya dan invasi Mongolia
sungguh merupakan tabiat perusakan yang lebih parah dan pada perusakan kota.
Mereka adalah bangsa yang berlatarbelakang pengembara. Dimana pun mereka
berpindah, mereka membawa kuda dan keledai yang tidak diberi makan dengan makanan
ternak, tapi digembalakan di padang rumput. Akibatnya bangsa Mongolia tidak
bisa jauh dan daerah pinggiran, ketika mereka menaklukkan kota manapun. Maka
dari itu mereka tidak segan melenyapkan penduduk yang sudah terbiasa dengan
pertanian dimana kota tempat kerja sains bergantung.
Konsekwensi nyata dan fenomena semacam
ini adalah kehidupan masyarakat yang tertimpa invasi menjadi kehilangan harmoni
dan tidak menentu arahnya. Nicolle menggambarkan invasi Mongolia terhadap
daerah-daerah Muslim Sebagai berikut:
“Setelah menaklukkan Baghdad, Hulegu
membawa pasukannya kembali ke Azerbeijan, suatu kawasan jauh utarabarat yang
sekarang masuk wilayah Iran. Di daerah tersebut terdapat padang rum-put yang
sangat luas yang disediakan untuk makanan kuda-kuda bangsa Mongolia, sementara
kota Maragha dan Tabriz disiapkan sebagai kota administra si. Istana Hulegu
selalu berpindah-pin dah dan seluruh area dijadikan sebagai base-camp yang
sangat besar bagi tentara predatornya. Begitulah fungsi Azerbeijan dan Hamadan
sepanjang sejarah.
Jadi, invasi Mongolia yang penuh dengan
teror telah melepaskan ikatan masyarakat Muslim dengan segala bentuknya untuk
memper~lambat semua formalitas peradaban termasuk perkembangan sains. Tidak
hanya pusat-pusat studi yang dirusak dan ilmuwannya yang dibunuh atau dibuat
panik, tapi juga semua tempat yang nyaman untuk penciptaan sains diganggu
dengan hebatnya.
Efek yang sama juga dirasakan oleh
dunia Muslim dengan invasi kaum Salib. ini adalah kelompok lain dan penghasut
perang yang dilancarkan oleh Paus di awal abad 13 M yang kononnya bermaksud membebaskan
Jemssalem dan tangan Muslim. Berkali-kali perang Salib didengungkan selama 2
abad (1095-1290 M). Seperti halnya bangsa Mongolia, kaum Salib juga menjarah
kota-kota Muslim, membunuh dan meneror penduduknya kemudian mengganggu
ketenangan tempat-tempat yang kondusif bagi perkembangan sains.
Sedangkan dan sisi internal, yang
paling rasional atas kemandegan sains di dunia Muslim adalah kegagalan pemimpin
memanfaatkan dan mengkoordinasikan disiplin ilmu sains. Semenjak awal, filosof
dan ilmuwan sains Muslim sangat independen tanpa bantuan yang memadai dan
khalifah atau Sultan. Konstruksi khalifah Mamun di Bayt alHik,nah sekitar
tahun 200 H/815 M, di mana terdapat perpustakaan dan observatorium adalah
permulaan yang baik tapi tidak diteruskan oleh khalifah berikutnya. Di samping
itu Bayt al-Hikmah lebih merupakan pusat riset dan pada institusi pengajaran.
Walaupun banyak pusat-pusat kajian yang dijumpai di dunia Muslim, seperti: Ddr
at- ‘Jim di Kairo (395 HI 1005 M), Nizhãm al-Mulk di Baghdad (459 H/1067 M) dan
Madrasah Granada (750 H/1349 M), tapi semua institusi ini tidak memperhatikan
masalah filsafat natural dan ilmu pasti secara murni. Hal ini berakibat pada
kegagalan melembagakan filsafat natural dan sains. Filosuf natural dan
ilmuwan sains Muslim !ebih nampak sebagai mndividu-individu terpisah dan pada
sebagai satu badan yang terorganisir. Mereka mempelajari filsafat secara privat
dan walaupun sudah bertugas di istana khalifah, mereka jarang didukung dengan
kebijakari pemerintah untuk mengajar filsafat natural dan sains di Madãris.
Ilmuwan lainnya yang tidak mempunyai akses dengan istana, mereka bebas mengajar
di halaqah-halaqah mereka sendiri dimana para murid datang sendiri dan
mendapat untuk belajar sampai tamat dengan mendapatkan ijazah yang menjadi
lisensi mereka untuk mengajarkan ajaran-ajaran gurunya. Sistem pendidikan ini
mempunyai masalah dan keterbatasannya sendiri. Guru terbatas dengan idenya
sendiri sementara para murid hanya mempunyai akses kepada ide gurunya saja.
Kondisi diskusi yang kondusif sesama teman sekolah atau memanfaatkan
calon-calon ilmuwan hampir tidak tercipta di sini. Kondisi seperti ini hanya
dapat tercipta jika jika sebuah institusi akademi dan universitas didirikan.
Dengan akademi, murid akan terekspos pada bidang disiplin ilmu yang bermacam-macam
dan oleh guru yang berlainan, dengan cara sistematis yang memakai prosedur
dan standar tertentu yang hams dilalui oleh para murid sampai tamat masa
belajarnya. Dalam kerangka seperti inilah sains dapat diinstitusionalisasikan
dalam rangka memenuhi penelitian sains yang terkoordinasi sehingga berkembang
menjadi revolusi sains.
Jadi menurut saya, kegagalan revolusi
sains dalam dunia Muslim secara in ternal lebih disebabkan oleh metode atau
organisasi daripada aspek teologi. Hal ini bukanlah tabiat Islam yang menyebabkan
kegagalan Muslim dalam revolusi sains itu, tapi karena masalah organisasi yang
bersamaan dengan faktor eksternal yang sudah dibicarakan di atas. Siapa tahu,
jika bangsa Mongolia dan kaum Salib tidak menghancurkan lahan-lahan kaum
Muslim, maka mereka pasti akan dapat merealisasikan kebutuhannya dalam
meletakkan institusi yang terorganisir untuk mempromosikan pendidikan sains
dalam skala yang lebih komprehensif.
2.
Fakfor-fakfor yang Memudahkan Perkembangan Sains di Eropa
Tidak
dapat diragukan bahwasanya tradisi sains di Eropa berhutang banyak kepada dunia
Muslim. Di saat dunia Muslim telah berhasil memunculkan saintissaintis besar
dan mengembangkan tradisi keilmuan dan intelektual, orang Eropa saat itu masih
merana dan terbelakang jauh di punggung sejarah keilmuan. Para penulis Eropa
sendiri menandakan pen-ode ini (900-1500-an M) sebagai kegelapan yang
melambangkan keterbelakangan Eropa d.alam sains dan intelektual. Jadi dapat
dikatakan bahwa faktor pertama dan utama yang membantu perkembangan sains di
Eropa adalah hasil jiplakan dan peradaban Islam. Hasil jiplakan itu merupakan
ketetapan teoriteori sains yang berwujud sebagai paradigma dasar dalam perkembangan
sains di Eropa dan titik puncaknya dan semua itu adalah revolusi sains sekitar
abad 17. Edward Grant, saiah satu ilmuan kontemporer dalam Sejarah sains tidak
hanya mengetahui fakta itu tetapi juga mengakuinya. Hal ini dapat diketahui
dan catatanya berikut:
Revolusi
sains tidak akan terjadi di Eropa abad 17 M jika standar sains dan filsafat
natural masih setaraf sains pada pertengahan pertama abad 12 M, yaitu sebelum
adanya penerjemahan sains Yunani-Arab di pertengahan akhir abad itu. Tanpa
penerjemahan yang mengubah kehidupan intelektual Eropa itu dan beberapa
peristiwa setelahnya, Revolusi sains abad 17 mustahil dapat terwujudkan.
Jadi,
penerjemahan sains dan filsafat Yunani-Arab natural ke dalam bahasa Latin
merupakan syarat awal yang mutlak diperlukan dalam upaya kemunculan tradisi
keilmuan di Eropa. Poin penting dan faktor ini patut digarisbawahi, seperti
yang diungkapkan Grant berikut:
Dikarenakan
pentingnya karyakarya terjemahan itu, peradaban Islam hams dibeni temp at yang
memadai dalam sumbangsihnya dalam pencapaian dunia Barat dalam bidang sains.
Beberapa abad sebelumnya, ilmuwan Muslim telah menerjemahkan sebagian besar
sains Yunani ke dalam bahasa Arab dan kemudian memberi tambahan dan kontnibusi
yang banyak terhadap aslinya sehingga terbentuk apa yang sekarang dinamakan
sains Yunani-Arab (Yunani-lslam), dimana terdapat karya-karya Aristoteles,
berikut dengan karya komentar atasnya. Sebagian besar kerangka keilmuan ini
kemudian ditransfer ke dunia Barat Secara terus-menerus. Meskipun sains di
Barat bisa saja berkembang tanpa mengambil peninggalan Yunani-lslam, akan
tetapi sains modern sudah pasti harus menunggu berabad-abad lagi untuk lahir,
atau mungkin masih berdiam dalam rahim masa depan.
Sangatlah
penting menggarisbawahi pengakuan Grant bahwa orang Muslim ‘memberi banyak
tambahan dari teks aslinya” untuk ide-ide Yunani sebelum di-transfer ke Barat -
sebuah fakta yang tidak diakui oleh banyak ahli sejarah sains Barat yang
subjektif. Seandainya saja orang-orang Islam tidak memberikan tambahan
apa-apa, sudah tentu mereka sekarang tidak akan membuat klaim-klaim penting
terhadap fenomeria sains saat ini.
Sebenarnya,
Edward Grant bukan satu-satunya yang mengakui kontribusi besar dan orang Muslim
kepada tradisi sains dan keilmuan Eropa. Sebelumnya sudah ada Goichon AM. Dalam
Encyclopaedia of Islam, entry “lbn Sina”, dia mengatakan:
Transmisi
sains Yunani oleh orang Arab (baca Muslim) ke dalam bahasa Latin melahirkan
pencerahan (renaissance) pertama di selatan Eropa mulai abad 10 di Sisilia,
kemudian abad 12 di sekitar Toledo dan tidak lama kemudian di Perancis. Dua
karya utama Ibn Sina, Shifa’ dan Qanün, menjadikannya master tanpa tanding
dalam bidang kedokteran, ilmu pengetahuan alam dan filsafat. Sejak abad 12
hingga 16 M, pengajaran dan praktek kedokteran [di Eropa] merujuk padanya.
Karya Abu Bakar Muhammad bin Zakariyya al-Rãzi juga terkenal dan dia sendiri
dianggap ahli klinik terbaik tetapi buku Qanün tetap menjadi Korpus pengajaran
yang tidak tergantikan karena buku Ibn Rushd Kitãb al-Kulliyydt fi al-Tibb
hanya memuat masalah bagian pertama Qanin. Karya lbn Rushd tersebut telah
diterjemahkan seluruhnya oleh Gerard dan Cremona antara tahun 1150 dan 1187 M.
Ada 87 terjemahan karya itu dan beberapa di antaranya merupakan terjemahan sebagian.
Setelah
mewarisi pradigma keilmuan dasardari orang Muslim, orang Barat kemudian
membekali dirinya dengan ilmu yang dengan segala cara bertransformasi agar siap
menyambut revolusi sains. Proses terpenting dan transformasi keilmuan ini adalah
institusionalisasi. Orang Eropa lantas membentuk institusi universitas. Aktivitas
inilah yang menjadi fondasi sains modern sejak abad pertengahan hingga sekarang
ini.
Di
univeristas, dapat dilihat bagaimana ilmu sains dan filsafat itu diatur dengan
baik. Pengajar dan pelajar betul-betul memanfaatkan kesempatan yang sangat
berguna ini. Mereka tidak hanya saling bertukar ilmu pengetahuan tetapi juga
membuat penyelidikan lanjutan di dunia ilmu pengetahuan. Filsafat natural ternyata
lebih unggul di Barat karena dapat menyerapkan karya-karya filsafat agung
kedalam dunia pengetahuan. Elernen penting lainnya dalam kelembagaan ini ialah
adanya kebebasan yang dinikmati oleh pengajar dan pelajar di universitas.
Meskipun para guru mempunyai kesempatan untuk mempunyai pelajar dan Iatarbelakang
yang mapan, para murid tidak terikat atau terpaksa bergantung kepada satu guru
saja. Pada saat yang sama, para pelajar dapat mempunyai lingkup mata pelajaran
yang luas dimana mereka akan memilih spesialisasi. Di samping ilmu filsafat
natural dan logika, para pelajar juga dikenalkan dengan ilmu-ilmu eksakta seperti
aritmatika, geometri, musik, dan astronomi, yang menjadi mata pelajaran untuk
tingkatan sarjana muda (baccalaureate) and Master (Master of Arts). Dua
jenjang ini dan digabungkan dengan banyaknya waktu yang dihabiskan pelajar di
setiap jenjang tersebut sebelum kelulusan, merupakan indikasi bagaimana proses
pembelajaran di dunia Barat menjadi begitu terorganisir dan maju. Hampir
semua pelajar di universitas sama-sama dikenalkan dengan kajian ilmiah. Jadi,
Sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam memproduksi dan melipatgandakan
ilmuwan-ilmuwan masa depan, universitas, dengan segala sarananya dibentuk
untuk memfasilitasi dan memastikan berkembangnya sains di bagman dunia itu.
Di
samping penerjemahan dan universitas, faktor ketiga majunya tradisi keilmuan
di Eropa adalah munculnya golongan ahli filsafat-teologi. Mereka berperanan
utama dalam menyokong filsafat sebagai lapangan studi yang penting. Pada
dasarnya merekalah yang menyelamatkan filsaf~t dan biang kemarahan gereja.
Dibandingkan dengan kolega mereka di dunia Islam yang bermusuhan dengan filsafat,
ahli teologi di Barat mencari kompromi antara filsafat dan teologi. Bahkan
jika perlu teologi memakai ide-ide filsafat, misalnya Aristotel, digunakan
untuk mempertahankan doktrin- doktrin Bibel yang tidak masuk akal seperti
Trinitas dan Ekaristia (Eucharist). Fakta pertautan filsafat dengan para ahli
teologi ml menjelaskan paradoks mengapa filsafat Aristotelis yang tidak disukai
pihak Gereja dapat tumbuh di universitas abad pertengahan, padahal saat itu
universitas di bawah perlindungan gereja. ini bukan berarti bahwa para filosof
di Barat Iebih bebas daripada di dunia Muslim . Adanya insiden seperti
pengutukan tahun 1277 M dan penganiayaan terhadap ilmuwan Seperti Galileo
(1564-1642 M) merupakan contoh nyata dan kemurkaan abadi Gereja terhadap sains
yang menyebabkan para ahli filsafat-teologi berpihak kepada sains. Begitu
menyokong filsafat, para ahil teologi ini memberikan fasilitas studi di
universitas. Bahkan mereka menjadikan filsafat sebagai syarat perpeloncoan
bagi pelajar yang ingin meraih gelar teologi dan diharuskan mendapat nilai
tinggl dalam filsafat. Hasil dan skema ini dapat dilihat jelas
dengan munculnya para saintis terkenal yang pada saat yang sama juga ahli
teologi. Tokoh seperti Albertus Magnus, Robert Grosseteste, Joh Pecham,
Theodoric dan Freiberg, Thomas Brandwardine, Nicole Oresme dan Henry dan
Langenstein mewakili fakta ini.
Di
luar faktor-faktor utama di atas, secara umum kondisi di Barat mendukung
aktifitas keilmuan. Di antara yang terpenting ialah suasana damai di Eropa
menjelang abad 17 M. Pada umumnya adanya stabilitas sosial dan politik juga
berarti adanya stabilitas mental, dan tanpanya kemajuan intelektual tidak akan
wujud. Eropa Barat tidak pernah mengalami terror seperti yang dilakukan bangsa
Mongol dan pasukan Salib terhadap dunia Muslim. Kemakmuran ekonomi juga
berkaitan erat dengan susana damai di Eropa. Negara kota di sana pada urnumnya
lebih makmur dibandingkan dengan kesultanan di dunia Muslim. Di Eropa saat
itu terkenal dengan perusahaan pribadi yang maju dan golongan pengusaha yang
kaya raya. Pengusahapengusaha ini menjadi penopang kernak muran bagi
semua jenis kehidupan. Orang Eropa menemukan dunia melalui lautan dan daratan,
bukan hanya sekadar rencana untuk mewadahi lahirnya ide-ide gemilang dan
mengalirkan kemakmuran ekonomi, tetapi juga sebuah petualangan untuk pencarian
ilmu pengetahuan. Eksperimen-eksperimen mahal disponsori dan banyak sekali
aktivitas belajar yang dibiayai. Bahkan sebenarnya, pendanaan universitas itu
sukses sebagiannya karena orang Eropa banyak yang makmur.
Dengan
berbekal kondisi yang sangat menguntungkan itu, maka masuk di. akal bahwa
revolusi ilmu pengetahuan terjadi di Eropa pada abad 17 M.
Kemudisn
dapat kita ambil kesimpulan bahwa munculnya revolusi ilmu pengetahuan di Eropa
abad 17 merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dibantah. Meskipun begitu,
kita perlu mendudukkan fenomena sejarah keilmuan yang penting ini secara
wajar, dengan begitu perlu melihat proses dan kejadian beberapa abad sebelum
puncak revolusi. Sebagainiana telah kita gambarkan di atas, tidak benar jika
dikatakan bahwa fenomena saintifik sepanjang abad-abad itu adalah hasil usaha
orang Eropa sendiri. Di bagian lain dunia, khususnya di dunia Islam, sumbangan
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tidak kalah pentingnya. Sumbangan
mereka sepenting elemenelemen lain yang bergabung satu sama lain demi wujudnya
revolusi. Persoalan mengapa revolusi itu tidak timbul di tengah-tengah mereka
hanyalah sebuah kebetulan sejarah belaka. Faktor-faktor yang telah kami
uraikan di atas untuk menjelaskan kemunculan ilmu pengetahuna di Eropa
hendaknya jangan dianggap ekslusif untuk Eropa saja. Apapun halnya, revolusi
sains hanya terjadi sekali dalam Sejarah dan itu tidak memungkinkan kita
membuat perbandingan. Misalnya, peranan yang dimainkan universitas di Eropa
boleh jadi telah dilakukan juga o!eh institusi tertentu di tempat lain. Tentunya
revolusi sains dapat juga terjadi di China atau bahkan India, tetapi karena ia
terjadi hanya di Eropa, maka kita terpaksa mempercayai bahwa suasana dan
prilaku saintis Eropa-lah yang mendorong terjadinya revolusi.
Sikap
para Muslim ahli teologi terhadap filsafat hendaknya tidak dibesarbesarkan
sebagai penghalang kemajuan aktifitas sains di dunia Islam. Untuk hal ini saya
perlu menyikapinya dengan menyepakati Gibb tentang hukum mengadopsi budaya
luar, yang mengatakan bahwa ‘kebudayaan yang hidup dapat meminjam elemen-elemen
asing untuk berkembang sebatas bahwa ia dapat diadaptasikan dan dipadukan
dengan kekuatan-kekuatan lokal. Tetapi dengan segala kekuatan dalam menahan
pertumbuhan pesat yang berlebihan, kebudayaan yang hidup juga mengabaikan atau
menolak elemen-elemen kebudayaan asing yang bertentangan dengan nilai-nilai
fundamental, sikap emosional atau kriteria estetikanya. Dan ini persis dengan
apa yang dilakukan para mutakallimun terhadap filsafat Yunani dalam
batas-batas pandangan hidup Islam.
artikelnya sangat bermanfaat banget gan..
BalasHapus