Bagaimana umat Katolik menyikapi teori evolusi dan apakah teori
evolusi ini bertentangan dengan iman? Pertama-tama kita harus memegang
bahwa karena iman dan akal itu sama-sama berasal dari Allah, maka kita
percaya bahwa seharusnya tidak ada pertentangan antara iman dan akal (reason)
dan science yang menjadi hasil dari akal tersebut untuk mencapai
kebenaran, asalkan pencarian kebenaran tersebut dilakukan dengan tulus
tanpa memasukkan ide-ide pribadi yang kemudian dianggap sebagai
kebenaran.
Teori Evolusi yang kita kenal sebenarnya merupakan suatu hipotesa, yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, agar dapat dikatakan sebagai kebenaran. Sementara ini, bukti ilmiah belum dapat dikatakan mendukung hipotesa tersebut. Ada dua inti besar teori Evolusi- yang dikenal sebagai “Macroevolution/ evolusi makro”yang dipelopori oleh Darwin:
Teori evolusi yang kita kenal umunya adalah evolusi makro. Ini bertentangan dengan iman, karena definisinya, teori Evolusi makro merujuk pada asumsi bahwa tidak ada campur tangan Tuhan (sebagai Divine Intelligence) sebagai pencipta umat manusia.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa terdapat beberapa problem mengenai teori Evolusi makro, baik dari segi filosofi maupun ilmu pengetahuan, dan akal sehat kita sesungguhnya dapat menilai mana yang benar:
A. Problem Evolusi makro dari sudut pandang filosofi:
Selanjutnya, hal analisa mineral dan outer space hanya merupakan metoda ilmiah, yang hasilnya juga tidak dapat menjawab misteri asal-usul kehidupan.
Jadi dalam hal ini kita melihat benang merah antara science dan iman. Di samping pertimbangan akal sehat pada hasil penelitian evolusi, pada akhirnya diperlukan kerendahan hati untuk menerima apa yang diajarkan oleh Gereja. Gereja tidak menentang science, namun juga tidak dapat menyatakan hipotesa ilmiah sebagai kebenaran, karena statusnya masih hipotesa dan belum sepenuhnya dapat dibuktikan.
Teori Evolusi yang kita kenal sebenarnya merupakan suatu hipotesa, yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, agar dapat dikatakan sebagai kebenaran. Sementara ini, bukti ilmiah belum dapat dikatakan mendukung hipotesa tersebut. Ada dua inti besar teori Evolusi- yang dikenal sebagai “Macroevolution/ evolusi makro”yang dipelopori oleh Darwin:
- Semua mahluk hidup berasal dari mahluk sederhana yang terdiri dari satu sel atau lebih, yang terbentuk secara kebetulan.
- Species baru terbentuk dari species lain melalui seleksi alam, dengan melibatkan kemungkinan variasi, di mana variasi tersebut dapat bertahan dan berkembang biak. Dalam abad ke-20, hal ini diperjelas dengan memberi penekanan pada kemungkinan mutasi sebagai cara pembentukan variasi. Posisi ini dikenal sebagai Neo- Darwinism.
Teori evolusi yang kita kenal umunya adalah evolusi makro. Ini bertentangan dengan iman, karena definisinya, teori Evolusi makro merujuk pada asumsi bahwa tidak ada campur tangan Tuhan (sebagai Divine Intelligence) sebagai pencipta umat manusia.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa terdapat beberapa problem mengenai teori Evolusi makro, baik dari segi filosofi maupun ilmu pengetahuan, dan akal sehat kita sesungguhnya dapat menilai mana yang benar:
A. Problem Evolusi makro dari sudut pandang filosofi:
- Teori Darwin berpendapat bahwa dari mahluk yang lebih rendah dapat dengan sendirinya naik/ membentuk mahluk yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh kebetulan semata-mata, (dan bukan disebabkan karena campur tangan ‘Sesuatu’ yang lebih tinggi derajatnya). Ini bertentangan dengan prinsip utama akal sehat: sesuatu/ seseorang tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya.
- Teori Darwin tidak berdasarkan fakta konkrit bahwa species tertentu memiliki ciri khusus yang tidak dipunyai oleh species lain; sebab teori ini beranggapan bahwa semua species seolah-olah tidak punya ciri tertentu dan dapat berubah menjadi species yang lain, seperti tikus menjadi kucing, kucing menjadi anjing, dst. Hal ini tentu tidak terjadi dalam kenyataan.
- Teori ini mengajarkan bahwa kemungkinan variasi terjadi karena ‘kesalahan’/ hanya kebetulan; dan ini seperti mengatakan bahwa musik disebabkan oleh ‘keributan’ semata-mata.
- Teori Darwin tidak dapat menjelaskan perbandingan paralel antara hasil karya manusia dan satu sel mahluk hidup. Karena akal sehat dapat melihat secara objektif bahwa hasil karya manusia/ teknologi betapapun bagus dan rumitnya tidak memiliki kehidupan sedangkan mahluk satu sel memiliki kerumitan tertentu yang dapat menyebabkan ia hidup dan berkembang. Maka jika teknologi tersebut (yang lebih rendah jika dibandingkan dengan mahluk satu sel) dihasilkan oleh mahluk dengan akal yang tinggi (yaitu manusia), maka betapa hal itu harus lebih nyata dalam hal penciptaan mahluk satu sel tersebut, yang seyogyanya diciptakan oleh mahluk yang jauh lebih tinggi dari manusia.
- Evolusi tidak dapat menjelaskan keberadaan keindahan alam di dunia. Jika segala sesuatu adalah hasil kebetulan yang murni, maka hal itu tidak dapat menjelaskan bagaimana kebetulan itu bisa menghasilkan keindahan yang ditimbulkan oleh keteraturan/ ‘order’. Dari pengalaman sehari-hari, kita mengetahui tidak mungkin terdapat kebetulan-kebetulan murni yang bisa menghasilkan keteraturan dan keindahan.
- Teori Darwin tidak membuktikan bahwa Tuhan Sang Pencipta tidak ada, melainkan teori ini mengambil asumsi ketidak-adaan Tuhan sebagai titik tolak. Bahwa kemudian dikatakan bahwa pembuktian ‘kebetulan secara ilmiah’ tersebut menunjukkan demikian, itu hanya merupakan demonstrasi untuk mengulangi suatu pernyataan yang diasumsikan sebagai kebenaran.
- Kenyataannya, species mahluk hidup sudah jelas memiliki keterbatasan ciri-ciri yang secara genetik tidak dapat berubah. Sampai saat ini tidak ada bukti nyata tentang pembentukan species baru dari species lain menurut seleksi alam. Jikapun ada, maka mahluk persilangan ini tidak mempunyai kemampuan untuk berkembang biak. Contoh: ‘mule’ , persilangan antara kuda dan keledai, tidak dapat berkembang biak/ steril.
- Hasil penemuan fosil tidak menunjukkan perubahan yang berangsur secara terus menerus pada species yang satu dan yang lain. Yang ditemukan adalah bentuk yang stabil untuk jangka waktu yang lama, dan tidak ditemukan fosil species perantara yang menghubungkan satu species dengan yang lain. Jika benar ada mahluk antara kera dengan manusia, tentu fosil mahluk antara kera dan manusia harus banyak ditemukan, namun sampai saat ini tidak demikian, sehingga dikatakan bahwa terdapat ‘missing links’ antara fosil kera dan fosil manusia. Betapa ini menunjukkan bahwa mahluk penghubungnya tidak ditemukan karena memang tidak ada!
- Mutasi menunjukkan adanya pengurangan organ ataupun modifikasi organ yang sudah ada, karena kebetulan dan tidak essensial, seperti perubahan warna, bentuk, dst. Namun mutasi tidak dapat menjelaskan sesuatu yang tadinya tidak ada jadi ada. Jadi prinsipnya ‘indifferent/regressive’ dan bukan ‘progressive’.
- Darwin sendiri mengamati dengan teliti evolusi mikro, namun masalahnya dia menjadikannya sebagai rumusan untuk evolusi makro, walaupun sesungguhnya tidak dapat menjawab bagaimana sesuatu yang lebih sederhana membentuk sesuatu yang lebih rumit. Tidak usah jauh-jauh bicara soal keseluruhan tubuh; sebab bagaimana perkembangan dari satu sel menjadi organ mata atau telinga (yang walaupun kecil tapi kompleksitasnya cukup tinggi) saja belum dapat dibuktikan.
- Perhitungan matematika, yaitu teori probabilitas menunjukkan bahwa kemungkinan perubahan dari mahluk sederhana (1 sel atau lebih) menjadi mahluk yang kompleks adalah sangat kecil dan seluruh sejarah manusia tidak cukup untuk merealisasikan perubahan itu. Mungkin alibi ini termasuk yang paling mungkin dari pandangan ilmiah untuk membuktikan bahwa evolusi makro itu tidak mungkin terjadi. Salah satu tokoh evolusi seperti Jacques Monod (1910-1976) sendiri mengakui bahwa kemungkinan evolusi dari mahluk bersel satu adalah “hampir nol” dan kemungkinan terjadi hanya sekali (Jacques Monod, Chance and Necessity, NY, Alfred A. Knopf, 1971, p.114-145). Monod seorang ahli biologi, menyuarakan pendapat dalam hal biologis, namun hal ini tidak sejalan dengan kemungkinan secara matematika, yaitu bagaimana satu kemungkinan yang langka tersebut dapat terjadi, dan dapat menjadi dasar perkembangan manusia dalam kurun waktu sejarah manusia yang terbatas. Menurut statistik, hal ini tidak mungkin.
- Seandainya benar, maka diperlukan waktu yang sangat panjang untuk realisasi kemungkinan mutasi/ ‘kebetulan’ ini. Keterbatasan waktu sejarah manusia yang menunjukkan paling lama sekitar 10.000- 15.000 tahun tidak memberikan jawaban untuk kemungkinan teori ini. George Salet menulis, “…ilmu pengetahuan menemukan fungsi DNA, duplikasinya dan perkembangannya memberi dasar bagi spekulasi matematika bahwa, … periode geologis harus dikalikan dengan 10 diikuti dengan ber-ratus atau ber-ribu-ribu nol, untuk memberikan waktu bagi terbentuknya sebuah organ baru, walaupun organ yang paling sederhana sekalipun.” (diterjemahkan dari George Salet, “Hasard et certitude. Le transformisme devant la biologie actualle, Paris, 1972, p. x)
- Ilmu pengetahuan mengakui kompleksitas mahluk hidup ber-sel satu, dan tidak dapat menjelaskan bagaimana asal usul kehidupan. Dalam hal ini tokoh evolusi menawarkan penyelesaian dengan teori ‘blind chance’, tetapi seperti Monod sendiri mengakui, hal ini masih problematik, dan lebih tepat disebut sebagai ‘teka-teki’. (Ibid., p. 143)
- Kita percaya bahwa jiwa manusia diciptakan secara langsung oleh
Allah, dari yang tadinya tidak ada jadi ada. Jiwa ini dihembuskan
kedalam embrio manusia yang terbentuk dari hubungan suami istri. Jadi
jiwa manusia bukan berasal dari produk evolusi. Dalam surat ensiklik Humani Generis (1950), Paus Pius XII menolak ide evolusi total (yang menyangkut tubuh dan jiwa) manusia dari kera (primate). Dalam Humani Generis 36, Paus
Pius XII mengajarkan bahwa meskipun dalam hal asal usul tubuh manusia,
masih dapat diselidiki apakah terjadi dari proses evolusi, namun yang
harus dipegang adalah: semua jiwa manusia adalah diciptakan langsung
oleh Tuhan. Namun demikian mengenai evolusi tubuh manusia itu sendiri,
masih harus diadakan penyelidikan yang cermat, dan tidak begitu saja
disimpulkan bahwa manusia yang terbentuk dari ‘pre-existing matter’
tersebut sebagai sesuatu yang definitif.
Jadi ide evolusi total ini sama sekali bukan hipotesa bagi orang katolik. Namun demikian, para ilmuwan dapat terus menyelidiki hipotesa bahwa tubuh manusia dapat diambil dari kehidupan yang sudah ada (ancestral primate), walaupun juga dengan sikap hati-hati, “great moderation and caution”. Tetapi ia harus memegang bahwa semua manusia diturunkan dari satu pasang manusia (monogenism), bukan dari banyak evolusi paralel (polygenism) seperti pada hipotesa tertentu, sebab semua manusia diturunkan dari Adam dan Hawa. Dan hal ini sesuai dengan konsep “dosa asal” yang diturunkan oleh manusia pertama. - Mengenai penciptaan tubuh manusia dari materi yang sudah ada sebenarnya tidak bertentangan dengan sabda Tuhan yang menciptakan tubuh Adam dari tanah/ debu, yang kemudian dihembusi oleh kehidupan, yang menjadi jiwa manusia (Kejadian 2:7). Namun hal ini tidak bertentangan dengan penciptaan manusia seturut gambaran Allah, sebab yang dimaksudkan di sini adalah manusia sebagai mahluk rohani yang berakal dan memiliki kehendak bebas.
- Jadi diperbolehkan jika orang berpikir bahwa kemungkinan tubuh kera
dapat berkembang mendekati tubuh manusia dan pada titik tertentu (di
tengah jalan), Tuhan menghembusi jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu
yang kemudian terus berevolusi (evolusi mikro) sampai menjadi manusia
yang kita ketahui sekarang. St. Thomas Aquinas I, q.76, a.5, menyebutkan
bahwa teori yang menyebutkan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera (evolusi makro), harus kita tolak.
Tubuh Adam haruslah merupakan hasil dari campur tangan Tuhan untuk
mengubah materi apapun yang sudah ada (pre-existing matter) dan
menjadikannya layak sebagai tubuh yang dapat menerima jiwa manusia.
Campur tangan ini mungkin saja luput dari pengamatan ilmiah, seperti
yang diakui sendiri oleh Monod, saat mengatakan bahwa asal usul hidup
manusia adalah suatu teka-teki.
Tidak mungkin bahwa dalam satu tubuh dapat terdapat dua macam jiwa, yang satu adalah rational (manusia) dan yang kedua, irrational (kera), sebab terdapat perbedaan yang teramat besar, yang tidak terjembatani antara jiwa kera dan jiwa manusia. Lagipula tubuh kera bersifat spesifik yang diadaptasikan dengan lingkungan hidup yang tertentu. Jadi tidak mungkin bahwa tubuh manusia merupakan hasil dari perubahan-perubahan ‘kebetulan’ dari tubuh kera.
Kemungkinan yang lebih masuk akal adalah, jika manusia diciptakan melalui ‘pre-existing matter’ seperti dari tubuh kera sekalipun, terdapat campur tangan Tuhan untuk mengubah tubuh tersebut menjadi tubuh manusia, yang tidak merupakan kelanjutan dari tubuh kera tersebut, seperti halnya terdapat campur tangan Tuhan untuk menghembuskan jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu, yang bukan merupakan kelanjutan dari jiwa kera. Inilah yang secara ilmiah dikenal sebagai ‘lompatan genetik’, namun bedanya, ilmuwan mengatakan itu disebabkan karena kebetulan semata, sedangkan oleh Gereja dikatakan sebagai sesuatu yang disebabkan oleh campur tangan Tuhan. - Cardinal Schonborn dalam artikel di New York Times tgl 7 Juli 2005 menjelaskan bahwa pengamatan pada mahluk hidup yang telah menunjukkan ciri-ciri yang final menyebabkan kita terkagum dan mengarahkan pandangan kepada Sang Pencipta. Membicarakan bahwa alam semesta yang kompleks dan terdiri dari mahluk-mahluk yang ciri-cirinya sudah final ini, sebagai suatu hasil ‘kebetulan’, sama saja dengan ‘menyerah’ untuk menyelidiki dunia lebih lanjut. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa akibat terjadi tanpa sebab. Ini tentu saja seperti membuang pemikiran akal manusia yang selalu mencari solusi dari masalah.”
- Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa, akal sehat manusia pasti dapat memperoleh jawaban untuk pertanyaan yang menyangkut asal usul manusia. Keberadaan Tuhan Pencipta dapat diketahui secara pasti melalui karya-karya ciptaan-Nya, dengan terang akal budi manusia.. KGK no 295 mengatakan, “Kita percaya bahwa Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya. Dunia bukan merupakan hasil dari kebutuhan apapun juga, ataupun takdir yang buta atau kebetulan.”
Selanjutnya, hal analisa mineral dan outer space hanya merupakan metoda ilmiah, yang hasilnya juga tidak dapat menjawab misteri asal-usul kehidupan.
Jadi dalam hal ini kita melihat benang merah antara science dan iman. Di samping pertimbangan akal sehat pada hasil penelitian evolusi, pada akhirnya diperlukan kerendahan hati untuk menerima apa yang diajarkan oleh Gereja. Gereja tidak menentang science, namun juga tidak dapat menyatakan hipotesa ilmiah sebagai kebenaran, karena statusnya masih hipotesa dan belum sepenuhnya dapat dibuktikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar