Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Gowa-Tallo -
A. Kerajaan Gowa-Tallo
Sumber
asing terulis pertama dari Barat berasal dari catatan Tome Pires. Dia
menyebutkan tentang bagaimana kemapuan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan
oleh orang-orang Makassar. Dalam buku Islamisasi kerajaan Gowa, Prof. DR.
Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 72) Tome Pires dalam perjalanannya dari Malaka ke
Laut Jawa pada tahun 1513 telah menemukan orang-orang Makassar sebagai pelaut
ulung. Keterangan ini dianggap keterangan tertulis Barat yang tertua. Pires
menyebutkan:
“Orang-orang
Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, Negeri Siam dan juga
semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam, dalam Prof. DR. Ahmad M.
Swang, M.A ( 2005; 72)”
Sumber
berita dari catatan Tome Pires mungkin lebih menitikberatkan kepada sebuah
kerajaan di Sulawesi belum resmi memeluk agama Islam, karena secara resmi kedua
raja dari Gowa dan Tallo memeluk agama Islam pada tanggal 22 September 1605 M.
Negeri tersebut kaya akan beras putih dan juga bahan-bahan makanan lainnya,
banyak daging dan juga banyak kapur barus hitam. Mereka memasok barang dagangan
dari luar, antara lain jenis pakaian dari Cambay, Bengal, dan Keling. Mengingat
jaringan perdagangan dari Cina sudah lama, barang-barang berupa keramik juga
diimpor dan hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dari masa
Dinasti Sung dan Ming dari daerah Sulawesi Selatan.
Kerajaan
Gowa, berbeda dengan situasi Jawa dan Sumatra, Sulawesi dalam menerima pengaruh
agama Islam jauh lebih lambat. Islamisasi Gowa dan Tallo, kerajaan Makassar
yang tergabung sejak pertengahan abad ke-16 yang dalam zaman yang sama terlibat
perdagangan dengan negeri-negeri Melayu sampai kepulauan Malaka. Pertama-tama
kita melihat Gowa sebagai pusat kekuasaan politik di Sulawesi Selatan
pertengahan abad ke-16. Pada masa Karaeng Tumaparisi-kalona datang orang Jawa
yang bernama I Galassi. Nama Jawa menunjukan bahwa orang tersebut datang dari
barat Sulawesi, jadi tidak mesti dari Pulau Jawa, besar kemungkinan dari Jawa
dan Sumatra, Marwati Djoened Poesponegoro (2008: 228).
Sejak
kerajaan Gowa-Tallo resmi merupakan kerajaan bercorak Islam tahun 1605 M, Gowa
meluaskan politiknya agar kerajaan-kerajaan lainnya juga masuk Islam dan tunduk
kepada kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan Bone
tanggal 23 November 1611 M. J. Norduyn berpendapat bahwa penaklukan terhadap
kerajaan itu oleh Gowa-Tallo itu dirasakan sebagai harkat dan derajat agama
baru yaitu Islam mendorong keruntuhan kerajaan yang memusuhi Gowa-Tallo membawa
kerajaan Gowa-Tallo kepada kekuasaan dengan cepat dan pasti daripada
sebelumnya.
Menarik
perhatian meskipun kerajaan Gowa-Tallo sudah Islam, pada masa pemerintahan
raja-raja Gowa selanjutnya melukiskan hubungan baik dengan orang-orang Portugis
yang membawa agama Kristen-Katolik. Contohnya masa Sultan Gowa Muhammad Said
(14 Juni 1639-16 November 1653), bahkan masa putranya Sultan Hasanuddin (16
November 1639-29 Agustus 1669). Kedua-duanya memberikan bantuan kepada
orang-orang Portugis umumnya dan kepada Francisco Viera pada khususnya yang
telah menjadi utusan raja Gowa ke Banten dan Batavia bahkan Sultan Muhammad
Said dan Karaeng Patingalong memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan
Fransisco Viera. Hubungan erat antara orang Portugis dengan Gowa disebabkan
ancaman VOC Belanda yang hendaknya memonopoli perdagangan rempah-rempah di
Maluku.
B.
Kontak Awal dengan Islam
Sebagaimana
diketahui umum bahwa penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya melalui
perdagangan, maka demikian halnya dengan kedatangan Islam di Gowa tidak
terlepas dari faktor dagang. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang
dimungkinkan karena didalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan
seorang muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran, dan profesinya sebagai
pedagang. Setiap Muslim, apapun profesinya dituntut untuk menyampaikan ajaran
Islam sekalipun satu ayat.
Kalua
melihat masuknya islam ke Makassar terutama terbentuknya Kerajaan Gowa-Tallo
memang bisa dilihat sedikit terlambat dari wilayah lain seperti Jawa dan
Sumatra dll, sebab Kerajaan Gowa baru dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh
dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII. Dalam
kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari berbagai daerah Nusantara dan
para pedagang asing dari Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini.
Prof. DR.
Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 80) menyebutkan bahwa menurut teori yang
dikembangkan oleh Noorduyn, proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh
berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu melalui tiga tahap: pertama
kedatangan Islam, kedua penerimaan Islam dan ketiga penyebarannya
lebih lanjut.
Pendapat
yang senada dikemukakan oleh H.J. de Graaf. Namun, ia lebih menekankan pada
pelaku islamisasi di Asia Tenggara yang analisisnya didasarkan pada literatur
Melayu. Graaf berpendapat:
bahwa
Islam didakwakan di Asia Tenggara melalui tiga metode yaitu: oleh para pedagang
muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para dai dan orang suci (wali)
yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan
orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan
terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan perang terhadap negara-negara
penyembah berhala.
Kedatangan
Islam di Makassar yang dimaksudkan oleh Noorduyn dalam teorinya di atas adalah
ketika pertama kali para pedagang Melayu muslim mendatangi daerah ini. Kata
Melayu yang dimaksud dalam pengertian orang Makassar masa itu, tidak hanya
terbatas pada wilayah daerah Riau dan Semenanjung Malaka, seperti yang
diartikan sekarang, tetapi juga meliputi seluruh Pulau Sumatra,” sehingga
ketika Datuk ri Bandang yang datang dari Koto Tangah Minangkabau di Makassar
sebagai mubalig Islam, dia disebut sebagai orang Melayu.
Sekalipun
para pedagang Muslim sudah berada di Sulawesi Selatan sejak akhir abad XV,
tidak diperoleh keterangan secara pasti, baik dari sumber lokal maupun sumber
dari luar, tentang terjadinya konversi ke dalam Islam oleh salah seorang raja
setempat pada masa itu sebagaimana yang terjadi pada agama Katolik. Agaknya
inilah yang menjadi faktor pendorong para pedagang Melayu mengundang tiga orang
Muballigh dari Koto Tangah (Kota Tengah 2) Minangkabau agar datang di Makassar
mengislamkan elit Kerajaan Gowa-Tallo. Inisiatif untuk mendatangkan Muballigh
khusus ke Makassar, sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang 3)
seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang, berada di Gowa pada
pertengahan abad XVI (1525), tetapi nanti berhasil setelah memasuki awal abad
XVII dengan kehadiran tiga orang Muballigh yang bergelar datuk dari Minangkabau
(Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A., Makalah)
Lontara
Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan abad XVII dari
Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau
Datuk Tallua (Makassar), yaitu:
- Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang.
- Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang.
- Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro.
Ketiga
ulama tersebut yang berasal dari Kota Tengah Minangkabau, menurut sumber yang
ditulis oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan
agama Islam di Sulawesi selatan. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan
orang Bugis-Makassar, di Riau dan Johor, dimana banyak orang-orang
Bugis-Makassar berdiam, sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari
orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling
dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu’ sedangkan yang paling kuat dan
berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin,
1990: 228-231). Graaf dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum
ke Makassar lebih dahulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan temannya yang
lain ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih
dahulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu
yang sudah lama bermukim di Makassar tentang Raja yang paling dihormati.
Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk
Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati,
karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang
raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat
dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu (Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A., Makalah).
Menurut
sumber Portugis Antonio de Payva yang datang ke Sulawesi Selatan tahun 1542 M,
ia menyebutkan bahwa ketika mengadakan aktivitas misi Katolik di Siang, ia
mendapat rintangan dari para pedagang Melayu muslim yang diperkirakan sudah
menetap di sana sekitar 50 tahun sebelumnya. Laporan Payva dapat dianggap
sebagai informasi Eropa yang tertua tentang kegiatan orang-orang Melayu di
Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan ini dapat diperkirakan, pada akhir abad
XV orang-orang Melayu sudah melakukan aktivitas perdagangan di daerah ini.
Namun, tidak dapat diketahui secara pasti, berapa jumlah orang-orang Melayu
yang melakukan kontak pertama dengan daerah ini. Kemungkinan mereka semakin
banyak yang berimigrasi dan menetap di Makassar setelah jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis 1511. Dalam hubungan ini Noorduyn menulis:
“Zowel
uit Portugese als uit Makasaarse bronnen is bekend, dat reeds vrij vmeg in de
16de eeuw Maleise, dus Muslimse, handelaars zich in Makasar en elders op de
kust van Z. Celebes gevestigd hadden.”
“Baik
sumber-sumber Portugis ataupun sumber-sumber Makassar telah dikenal, sudah
sejak awal abad XVI para pedagang Melayu, jadi orangorang muslim, sudah
menetap di Makassar dan tempat-tempat lainnya di pesisir barat daya Sulawesi”.
Tampaknya,
sumber Makassar yang dimaksud Noorduyn di atas berasal dari Lontara Makassar,
yaitu Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Gowa). Dalam lontara tersebut
terdapat keterangan bahwa pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565),
bernama Tonipalangga I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, telah datang
seorang utusan orang-orang Melayu, Datuk Anakkoda Bonang, menghadap kepadanya
agar diberi hak atas sebuah kawasan perkampungan di Makassar, seperti
dikisahkan dalam lontara:
latommi
napappalakki empoang Jawa nikanaya Anakoda Bonang. Naia erang-eranna ri
Karaenga, nappala ‘na empoang, kontua anne: kamaleti sibatu, belo sagantuju
pulona sowonganna, sakalla ‘ sikayu, sikayu, cinde ilau sitangga kodi. Nakana
Anakoda Bonang ri Karaenga Tonipalannga; “appaki rupana kupala ‘-palaka rikatte
karaeng; ” nakanamo karaenga: “apa? ” Nakanamo: “kipalaki, tanipantamaia
embammang, tanigayanga punna nia’anammang, tani rappung punna nia’ salammang.”
Naniioi ri Karaenga; nakanan karaenga: tedongkujanjo maposo nakuparamme,
mabattala ‘nakutaroi, alaikaupaseng parangku tau, naiajia tamammunoako
ributtaku punna kuasenga.
“Dialah
yang meminta (memberi) tempat kediaman pada orang Jawa yang disebut Anakkoda
Bonang. Adapun persembahannya kepada raja ketika is meminta tempat kediaman,
ialah: sepucuk kamelati, delapan puluh junjungan “belo”, sekayu sekelat, sekayu
beludu dan setengah kodi “cinde ialu. ” Kata Anakoda Bonang kepada Raja
Tonipalangga: “empat macam kami harap-harapkan dari Tuanku;” maka menyahutlah
Raja itu “apa itu?” Ia menjawab; “kami minta supaya jangan dimasuki pekarangan
kami (dengan begitu saja), jangan dimasuki rumah kami (dengan begitu raja),
janganlah kami dikenakan peraturan “nigayang” bila ada anak kami, dan janganlah
kami dikenakan peraturan “nirappung” bila ada kesalahan kami Maka
diperkenankanlah (permintaan itu) oleh Raja, dan berkatalah Raja, “Sedangkan
kerbauku bila lelah kuturunkan ke dalam air, bila bebannya berat saya turunkan
sebagian, apalagi engkau sesamaku manusia, akan tetapi janganlah engkau
melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar pengetahuanku.”
Demikianlah
keterangan tertulis dalam kepustakaan Lontara Gowa, mengenai kedatangan orang
Melayu. Mereka mendapat perlindungan istimewa dari kerajaan untuk menempati
daerah sekitar pelabuhan Somba Opu di Kampung Mangallekana. Yang dimaksud
dengan “orang Jawa” dalam lontara tersebut adalah orang-orang Melayu dari
Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor. Hal ini bisa diketahui pada
dialog selanjutnya antara Anakkoda Bonang dengan raja:
Nanakanatodong,
“Siapai rupanna nupailalang kana-kana? ” Nakanamo Anakkoda Bonang, “Sikontukang
Ikambe ma’lipa’ baraya kontui Pahangan, Patania, Campaya, Marangkaboa,
Johoroka.”
“Berkatalah
pula Raja, “Berapa macam (orang) yang kau masukkan ke dalam permintaan itu?”
Berkatalah Anakkoda Bonang, “Semua kami yang bersarung ikat ialah (orang)
Pahang, Patani, Campa, Menangkabau, dan Johor.”
Hubungan
baik antara pendatang Melayu dengan penduduk setempat, menyebabkan mereka
mendapatkan tempat istimewa di hati raja. Tidak mengherankan, jika Raja Gowa
berikutnya, yaitu Tonijallo (1565-1590) memberikan fasilitas tempat ibadah,
sebuah masjid, di tempat pemukiman mereka, di Mangallekana. Pemberian fasilitas
masjid menandakan bahwa raja memberikan perhatian kepada para pedagang muslim. Di
pihak lain, para pedagang muslim berusaha memelihara hubungan baik itu dengan
kerajaan yang dapat dilihat dari kontribusi yang diberikan oleh para pedagang
Melayu terhadap pembinaan kerajaan. Sejak awal kedatangan mereka, yaitu di masa
pemerintahan Raja Gowa X, Tonipalangga, seorang keturunan Melayu bernama I
Daeng ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar yang kedua pada Kerajaan
Gowa. Sejak saat itu secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh
orang Melayu sampai pada masa Ince Husein sebagai syahbandar terakhir. Dia
mengakhiri jabatannya pada tahun 1669, ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan
melawan VOC. Jabatan penting lainnya yang dipegang oleh orangorang Melayu
adalah juru tulis istana. Salah seorang yang paling menonjol di antara orang-orang
Melayu itu adalah Ince Amin. Dia adalah juru tulis terakhir yang amat terkenal
pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Sebuah karya tulisnya yang masih bisa
ditemukan sekarang adalah “Sja’ ir Perang Makassar”. Karya ini mengisahkan
saat-saat terakhir masa kekuasaan Kerajaan Gowa tahun 1669.
Beberapa
sumber lokal mengemukakan, peranan orang-orang Melayu dalam bidang perdagangan
dan penyebaran Islam cukup berarti dalam upayanya untuk membendung pengaruh
Katolik. Sampai tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antar pulau
yang melalui pelabuhan Makassar, dikuasai oleh orang-orang Melayu. Komoditas
beras sebagai hasil utama Makassar diekspor ke Malaka dengan kapal orang-orang
Melayu.
Sumbangan
utama orang-orang Melayu dalam penyebaran agama Islam adalah upayanya untuk
mendatangkan mubaligmubalig Islam. Upaya itu dilakukan untuk membendung
pengaruh agama Katolik menyusul kedatangan Portugis di daerah ini.
C.
Raja Gowa-Tallo Masuk Islam dan menjadi Kerajaan Islam
Setelah
Datuk Tellue (Datuk yang tiga) berhasil mengislamkan Datuk Luwu’ dan
keluarganya pada 15 Ramadhan 1013 H atau 1603 M (Lontarak Sukkukna Wajo’) dan
raja Luwu’ La Patiwarek Daeng Parabbung diberikan gelar Sultan Muhammad Waliul
Mudharuddin (Andaya, 1981: 304, Andi Rasydiana, 1995: 60). Oleh karena La
Patiwarek Daeng Parabbung adalah ipar raja Gowa I Mangarangi Daeng Manrabia,
yaitu permaisurinya Karaengta ri Ballakbugisik adalah saudara raja Gowa, maka
orang-orang Minang itu memohon supaya raja Luwu’ meminpin pengislaman orang-orang
Sulawesi Selatan (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1990: 228-231). Mereka lalu
menyusun strategi baru dengan memprioritaskan daerah-daerah tertentu untuk
menyebarkan Islam selanjutnya, yaitu dengan membagi tenaga dan daerah sasaran
dakwah disesuaikan dengan keahlian mereka dan kondisi kultur daerah
masing-masing.
Cerita
rakyat di atas sekalipun bercampur mitos, tetapi dapat diartikan bahwa Datuk ri
Bandang dan Raja Tallo memegang peranan penting pada periode awal islamisasi di
daerah ini. Peranan kedua tokoh itu diperkuat oleh beberapa sumber lokal. Dalam
kronik Tallo menyebutkan, Raja Tallo menerima Islam pada tahun 1605, sedang
dalam Lontara’ Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Kerajaan Gowa) menceritakan
tentang penerimaan Islam Raja Gowa, Sultan Alauddin. Dalam lontara disebutkan:
Mantamai
ritaung tudju nama’gau’ areng kalenna, iangku mabassung nikana I Mangngarangi
areng paman’na I Daeng Manra ‘bia areng Ara ‘na nikana sulthan Alau ‘ddin,
nasampulo taung anrua ma ‘gau ‘ namantama Isilang, Marangkabo ampasahadaki,
kota Wanga arenna para’sanganna, Katte Tonggala ‘areng kalenna, ammempopi
riappa ‘na Pammatoang ritanaja nanikanamo I Dato ‘ri Bandang; napantamanga
Isilang Karaenga salapang bangnginna bulan Djumadele ‘ awwala’, riallona
Djumaka, mese’-na Septembere ‘ ruampulo anrua, hejera’na Na ‘bia Sallalahu
alaihi wasallang.
“Ia (Raja
Gowa) mengendalikan pemerintahan semasih berumur tujuh tahun, nama kecilnya,
semoga saya tidak berdosa menyebutkannya, adalah I Mangngarangi, nama daeng-nya
adalah I Daeng Manra’bia, nama Arabnya adalah Sultan Alauddin. Setelah ia
memerintah dua belas tahun, ia masuk Islam yang dibawa oleh orang dari Koto
Tangah, Minangkabau. Orang inilah yang mengajarkan kepadanya kalimat syahadat.
Ia digelar Datuk ri Bandang setelah ia bertempat tinggal di Kampung Pammatoang
(Bandang). Raja (Gowa) masuk Islam pada hari Jumat, 9 Jumadil Awal bertepatan
dengan 22 September.”
Menurut
keterangan Andi Kumala Idjo, SH (pewaris putra mahkota Kerajaan Gowa sekarang
), menuturkan bahwa dalam hal membagi tenaga dan daerah sasaran dakwah dari
tiga Muballigh ini (Datuk Tallua), maka Abdul Makmur Khatib Tunggal, Datuk ri
Bandang berdakwah di daerah Gowa yang kemudian mengislamkan raja Gowa-Tallo,
lalu Sulaiman, Khatib Sulung, Datuk Patimang berdakwah di Luwu, sedangkan Abdul
jawad, Khatib Bungsu, Datuk ri Tiro berdakwah di daerah Bulukumba. I
Mangngerangi Daeng Manrabia dinobatkan menjadi raja sejak umur 7 tahun dan pada
waktu masuk Islam usianya baru 17 tahun.
Menurut
Lontarak Sukku’na Wajo’ dan Lontarak Patturiolong Tallo’ bahwa raja Gowa I
Mangakrangi Daeng Manrabia memeluk agama Islam pada hari Kamis malam atau malam
Jumat 9 Jumadil Awal 1014 H (22 September 1605 M). Setelah I Mallingkaan Daeng
Manyonri’ memeluk agama Islam (Abd. Razak Daeng Patunru, 1967: 19) maka
menyusullah raja Gowa. Raja Gowa-Tallo ini memeluk Islam pada hari yang sama
yaitu pada hari Kamis malam atau malam Jumat, dan mungkin sekali yang
mengucapkan Syahadat pertama kali adalah I Mallingkaan Daeng Manyonri’
(Noorduyn, 1953: 93).
Setelah
Raja Gowa-Tallo masuk Islam pada tahun 1605 M yaitu I Managarangi Daeng
Manrabia, Sultan alauddin (raja Gowa XIV) dan I Mallingkaan Daeng Manyonri,
Sultan Abdullah Awwalul Islam. Maka hanya dalam waktu dua tahun yaitu ditahun
1607, rakyat Gowa dan Tallo pada umumnya sudah memeluk agama Islam dan raja
Gowa memaklumkam, bahwa agama Islam adalah agama resmi kerajaan di Gowa-Tallo
(H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).
Perlu
dicatat bahwa rakyat yang berbondong-bondong memeluk agama Islam mengikuti raja
mereka pada waktu itu bukanlah karena dipaksa atau diancam akan tetapi mereka
setelah menyadari kebenaran agama Islam berkat penerangan agama (dakwah) yang
dberikan secara intensif oleh ulama Abdul Khatib Makmur dan kawan-kawan yang
bermukim dikampung Kalukubodoa (Lontarak Sukkukna Wajo). Menurut Lontarak
Bilang Gowa bahwa pada tanggal 9 Nopember 1607, 18 Raja Hijara Sanna 1017 allo
Juma’nauru mammenteng Jumaka ri Tallo’, uru sallanta. Ia anne bedeng bunduka ri
Tamapalo (artinya: Mula (Pertama kali) diadakan shalat Jumat di Tallo, ketika
mula (sejak) masuk Islam, Dalam tahun ini konon terjadinya perang Tamapalo)
(Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1999: 228-231).
Penyebaran
Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo
Masuknya
Agama Islam di Sulawesi Selatan (Abad XVI-XVII)
Sejak
resminya agama Islam di gowa-Tallo, maka raja Gowa Sultan Alauddin makin kuat
kedudukannya sebab beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agam
Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh Qadhi, yang menjadi wakil
raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar
yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam pada abad XVI. Sultan alauddin
dipandang sebagai pemimpin Islan di Sulawesi selatan.
Cara
pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan Gowa
adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dengan negeri atau
kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain, bahwa
barangsiapa diantara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat
suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus
menyampaikan kepada pihak lainnya (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).
Maka
dengan dalih bahwa Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajika yaitu agama
Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut
memeluk agama Islam. Maka pendekatan serupa ini banyak hasilnya. Namun
kerajaan-kerajaan yang merasa dirinya sudah mampu dan dewasa dibidang
pemerintahan, menolak ajakan itu. Beberapa kerajaan kecil sekitar Gowa memenuhi
seruan memeluk Islam, akan tetapi kerajaan Bugis dan Mandar yang kuat seperti
Bone, Soppeng, Wajo’, Sidenreng, Sawitto, Suppak, Balannipa dan kerajaan Mandar
lain menolak keras ajakan itu, karena disebabkan faktor-fakator sebagai
berikut:
- mereka sukar meninggalkan kegemaran makan babi, minum tuak, sabung ayam dengan berjudi, beristri banyak dan lain-lain.
- mereka khawatir bahwa mereka akan dijajah oleh Gowa
Kepada
yang menolak itu dikirimkan peringatan, namun setiap kali ada pesan, setiap itu
pula ditolak. Dengan alasan mereka itu mau membangkan dan melawan, maka
terpaksa Gowa mengangkat senjata menundukkan mereka. Empat kali dikirim
balatentara untuk memerangi raja-raja Bugis, akan tetapi selalu dikalahkan oleh
persekutuan raja-raja Bugis, terutama Kerajaan Tellumpoccoe: Bone, Soppeng dan
Wajo yang menutup aliansi pada tahun 1582 (Noorduyn, 1955: 84) berdasarkan
Boeg. Chr.I, h. 484).
Menurut
H.A. Massiara Dg (1988: 55-62) mengatakan bahwa pada tahun 1609 angkatan
perang Gowa yang tangguh dikirim ke pedalaman, mula-mula ke Ajatappareng
(Suppak, Sawitto, Rappang, Sidenreng) lalu tunduk dan menerima Islam sebagai
agama kerajaan. Juga dalam tahun 1609 itu Kerajaan Soppeng menerimanya, tahun
1610 Kerajaan Wajo, dan tahun 1611 Kerajaan Bone. Kerajaan Luwu’
dan Mandar tanpa ancaman perang memang sudah mennjadikan Islam sebagai agama
Kerajaan.
Begitu
juga diterima dikerajaan-kerajaan Enrekang Kerajaan tellu Lembana dan Tellu
Batu Papan menerima ajakan Kerajaan Gowa.Pengislaman seluruh Sulawesi selatan
dijalankan oleh Gowa mulai tahun 1605 M sampai tahun 1612 M (H.A. Massiara Dg,
1988: 55-62).
0 komentar:
Posting Komentar